Secangkir Kisah Ibu Caryati dalam Menjaga Rasa dan Budaya dalam Teh Tradisional
Produksi teh konvensional merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang masih bertahan di tengah gempuran modernisasi industri. Berada di Dusun Kembanglangit, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, terdapat seseorang yang masih mempertahankan nilai-nilai tradisional tersebut. Tidak dengan mesin produksi, melainkan hanya alat-alat sederhana yang dipadukan dengan keahlian yang mumpuni. Kegiatan ini dilakukan oleh Ibu Caryati, pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) teh secara konvensional.
Ibu Caryati memulai usahanya pada tahun 2014, setelah mengikuti pelatihan pembuatan teh konvensional yang diselenggarakan oleh pemerintah desa. Awalnya, ia merasa prihatin terhadap harga beli daun teh mentah yang hanya berkisar Rp 2 ribu per kilogram (kg). Hal ini tidak sebanding dengan waktu dan tenaga yang dikerahkan. Melihat rendahnya nilai jual tersebut, Ibu Caryati mencoba menambah nilai ekonomis daun teh dengan mengolahnya menjadi teh siap konsumsi. Melalui berbagai ilmu yang didapat dari pelatihan, Ibu Caryati mengimplementasikan teknik produksi teh secara tradisional, sehingga dapat menghasilkan produknya sendiri.
Proses produksi teh dilakukan sepenuhnya secara manual. Daun teh yang telah dipetik, lalu digoreng tanpa minyak menggunakan alat tradisional yang disebut sangan. Proses ini dilakukan hingga daun berubah menjadi layu. Setelah itu, daun teh digilas menggunakan tangan dan kembali masuk ke dalam proses penggorengan. Setelah mencapai tingkat kekeringan yang diinginkan, teh siap dikemas, dan didistribusikan hingga ke tangan konsumen. Seluruh proses ini menghasilkan teh yang alami, sehat, dan bercita rasa khas.
Dalam menjalankan usahanya, Ibu Caryati bekerja sama dengan sang suami. Hasilnya, diperoleh sebanyak 10–15 kg teh siap jual per bulan, tergantung pada jumlah daun teh mentah yang tersedia. Pemasaran produk dilakukan secara langsung maupun melalui sistem reseller di pasar lokal. Produk teh Ibu Caryati tidak hanya dijual di wilayah desa dan sekitarnya, tetapi juga menyebar hingga ke kota lain sebagai buah tangan khas Dusun Kembanglangit.
Namun, jalan Ibu Caryati dalam mengembangkan usahanya tidak luput dari berbagai tantangan. Salah satu yang paling signifikan adalah kurangnya branding dan terbatasnya ketersediaan merek dagang resmi. Produk teh konvensional seringkali kalah bersaing dengan teh instan modern yang lebih dikenal masyarakat luas. Meski demikian, kualitas dan keunikan cita rasa dari teh tradisional, masih menjadi nilai lebih yang diminati oleh banyak konsumen
Dukungan dari pemerintah desa telah membantu keberlanjutan usaha ini. Melalui program pelatihan UMKM, Ibu Caryati mendapatkan keterampilan dasar dalam pengolahan teh. Selain itu, keinginannya untuk meneruskan usaha ini kepada anak-anaknya menjadi dorongan kuat agar pengetahuan lokal ini tidak punah. Ibu Caryati juga berharap generasi muda tertarik untuk melestarikan produksi teh konvensional sebagai bagian dari identitas budaya daerah.
"Harapannya, kalau saya, ya, mintanya yang baik-baik aja. Ada pelanggan datang ke sini yang banyak. Berarti saya bikinnya juga akan lebih banyak lagi, gitu. Cita-cita saya ingin ada yang melanjutkan usaha teh saya,” ucap Ibu Caryati.
Usaha Ibu Caryati mencerminkan sinergi antara pelestarian budaya dan penguatan ekonomi lokal. Di tengah tantangan zaman, produksi teh tradisional bisa menjadi solusi kreatif dalam menjaga kemandirian ekonomi desa sekaligus mempertahankan warisan leluhur. Dengan demikian, diharapkan adanya perhatian lebih dari berbagai pihak, baik masyarakat maupun pemerintah, untuk selalu mendukung dan mengembangkan usaha-usaha berbasis kearifan lokal.