Menilik Derasnya Perjuangan Para Petani Teh Kembanglangit

Di Dusun Kembanglangit, dengan udaranya yang sejuk dan hamparan kebun teh hijau, terbentang kisah perjuangan seorang petani teladan bernama Cahyono Abdul Syukur, yang akrab disapa Bapak Cahyono. Sejak tahun 1982, ia telah mendedikasikan hidupnya menjadi petani teh, sebuah profesi yang menuntut ketekunan, kesabaran, dan rasa cinta mendalam pada alam. Ketekunan dan keuletan itu membawanya berhasil menerima penghargaan sebagai petani teladan di Istana Negara pada tahun 2007, sebuah pengakuan yang membanggakan bagi Dusun Kembanglangit. 

Mengelola kebun seluas delapan hektar dengan sepuluh tenaga kerja, Pak Cahyono bukan hanya seorang petani, tetapi juga menjadi pemimpin yang menanggung harapan banyak orang. Ia melihat potensi besar pada kebun teh yang telah ia rawat selama puluhan tahun, baik dari segi komoditas teh maupun destinasi wisata alam yang menarik. Namun, potensi tersebut belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya karena keterbatasan infrastruktur yang membuat akses menuju kebunnya sangat sulit.

Meskipun bekerja keras setiap hari, kehidupan para petani teh di Kembanglangit belum mencerminkan kemerdekaan finansial yang sesungguhnya. Penghasilan yang didapat dari penjualan satu kuintal teh hanya menyisakan sedikit keuntungan untuk kebutuhan hidup karena sebagian besar harus dialokasikan untuk biaya operasional, seperti upah petik, penggarapan lahan, dan transportasi. Hal ini membuat kehidupan mereka sangat bergantung pada keberuntungan harga dan hasil panen. Pak Cahyono menyoroti perubahan besar sejak adanya perdagangan bebas; jika dulu pabrik teh datang menjemput hasil panen, kini beban logistik sepenuhnya menjadi tanggungan petani. 

Kondisi ini semakin diperburuk dengan ancaman penyakit, seperti cacar dan maet. Ditambah ketidakmampuan petani membeli pupuk untuk pemulihan teh, menambah berat beban mereka. Tingginya risiko dan biaya operasional membuat pekerjaan sebagai petani teh semakin tidak menarik bagi generasi muda. Ironisnya, teh dari dusun ini sering disebut organik, bukan karena strategi pasar, melainkan karena keterbatasan anggaran pemeliharaan. “Kami tidak menyebutnya organik karena tren, tapi karena kami tidak mampu membeli pupuk,” ujar Pak Cahyono ketika ditemui pada Rabu (06/08/2025). 

Di balik pernyataan itu, tersimpan harapan agar pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap petani melalui pupuk bersubsidi. Sebab, lahan teh ini bukan hanya sebagai sumber panen, tetapi juga benteng ekologis sebagai daerah resapan air yang vital. Para petani berharap kerja keras mereka mendapat dukungan pemerintah agar pertanian teh bisa menjadi jalan hidup yang benar-benar menyejahterakan dan membebaskan.

Bagikan Artikel ini: